Fenomena negara proto atau proto-state tidak selalu hadir dalam bentuk militer yang menguasai wilayah secara terang-terangan. Dalam konteks Indonesia, bentuk-bentuk proto-state bisa muncul dalam kemasan kultural, adat, pecinan kawasan transmigran, hingga struktur sosial lokal yang menolak campur tangan negara secara langsung. Keberadaan mereka sering kali dibingkai sebagai warisan budaya atau bentuk kearifan lokal, namun sejatinya memiliki ciri-ciri otoritas de facto yang menyaingi atau bahkan menggantikan peran negara.
Contoh paling mencolok dapat ditemukan pada komunitas adat Badui di Provinsi Banten. Kelompok ini secara konsisten menolak intervensi modern, termasuk infrastruktur, pendidikan negara, hingga sinyal telekomunikasi. Bahkan, baru-baru ini tokoh masyarakat Badui meminta agar pemerintah mematikan sinyal HP yang masuk ke wilayah mereka karena dianggap mengganggu tatanan kehidupan adat. Permintaan ini menunjukkan betapa mereka menjalankan sistem otoritas sendiri dan menolak penetrasi simbol negara.
Dalam konteks proto-state, wilayah Badui dapat dikatakan telah memenuhi sebagian syarat sebagai negara proto. Mereka memiliki sistem hukum adat, struktur kepemimpinan internal yang kuat, wilayah teritorial yang diakui, serta keberlanjutan kehidupan sosial-ekonomi yang mandiri. Meski tanpa senjata atau paramiliter, daya tahan dan resistensi terhadap negara modern membuat komunitas ini beroperasi layaknya sebuah negara kecil dalam negara.
Tidak hanya di Banten, Pulau Bali juga menyimpan potensi sebagai bentuk proto-state berbasis budaya. Meski secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia, Bali memiliki identitas yang sangat kuat dan otoritas adat yang berperan dominan dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Salah satu unsur uniknya adalah keberadaan pecalang, petugas keamanan adat yang bertugas menjaga ketertiban masyarakat dalam berbagai kegiatan, termasuk yang bersifat publik dan keagamaan.
Pecalang sering kali dipersepsikan sebagai paramiliter lokal. Mereka tidak bersenjata api, namun memiliki kewenangan untuk mengatur, menertibkan, dan bahkan membatasi pergerakan individu selama ritual keagamaan atau acara adat. Dalam banyak kasus, keputusan pecalang bisa lebih ditaati daripada aparat negara seperti polisi, khususnya oleh warga lokal. Dalam kerangka proto-state, pecalang memainkan peran mirip dengan unit keamanan negara, meski di bawah payung budaya.
Bali juga memiliki sistem desa adat yang independen secara administratif. Desa adat ini memiliki peraturan, struktur kepemimpinan, dan sistem hukuman sendiri yang berjalan paralel dengan pemerintahan resmi. Bahkan, dalam banyak hal, keputusan desa adat lebih menentukan kehidupan warga daripada regulasi pemerintah kabupaten atau provinsi.
Kondisi serupa juga terlihat di wilayah Betawi, Jakarta, dengan munculnya organisasi kemasyarakatan seperti Forum Betawi Rempug (FBR) dan sejenisnya. Meski lebih bersifat informal dan terkadang dicap sebagai ormas preman, kelompok ini menjalankan fungsi seperti proto-state dalam wilayah pengaruhnya. Mereka menjaga wilayah, memungut “iuran keamanan”, hingga melakukan mediasi dan penyelesaian sengketa yang mestinya menjadi kewenangan negara.
Yang membedakan FBR dan kelompok sejenisnya dengan komunitas adat seperti Badui atau Bali adalah pendekatan dan legitimasi sosialnya. Jika Badui dan pecalang didasarkan pada struktur adat yang diakui secara historis dan legal, maka FBR dan ormas serupa tumbuh dari ruang kekosongan negara dan memanfaatkan kekuatan massa serta simbol-simbol militeristik untuk menegaskan kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya, semua entitas ini—baik yang berbasis adat maupun ormas kedaerahan—telah menjalankan fungsi negara dalam batas-batas tertentu. Mereka menyediakan keamanan, menyusun aturan, menyelesaikan konflik, bahkan dalam beberapa kasus, mengelola ekonomi lokal seperti pasar dan distribusi bantuan sosial.
Proto-state dalam balutan adat juga bisa menjadi destinasi wisata yang eksotis, namun di balik itu menyimpan sistem politik yang terorganisir. Banyak desa wisata di Indonesia yang telah membentuk struktur tersendiri untuk mengelola pariwisata, keamanan, dan tata ruang, di luar sistem pemerintahan resmi. Dalam kasus tertentu, kepala desa atau tokoh adat bahkan lebih berkuasa dibanding camat atau bupati.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting tentang otoritas negara dan batasan kedaulatan. Apakah negara benar-benar hadir jika fungsinya dijalankan oleh pihak non-negara yang lebih efektif atau lebih dihormati oleh masyarakat setempat? Apakah keberadaan proto-state ini merupakan ancaman, atau justru bentuk adaptasi lokal terhadap kegagalan sistem negara?
Di sisi lain, keberadaan proto-state juga menunjukkan adanya resistensi terhadap homogenisasi budaya oleh negara. Masyarakat seperti Badui atau desa adat Bali mempertahankan identitas mereka sebagai bentuk perlindungan terhadap intervensi yang dianggap merusak. Dalam konteks ini, proto-state bukan bentuk pemberontakan, tapi bentuk perlawanan budaya terhadap dominasi struktur negara modern.
Namun, keberadaan proto-state juga bisa menjadi bumerang jika tidak diatur atau diintegrasikan secara bijak. Jika dibiarkan terlalu bebas, proto-state bisa menjadi negara dalam negara yang tak terkendali. Di sisi ekstrem, mereka bisa berkembang menjadi pusat separatisme, atau malah melahirkan sistem oligarki lokal yang menindas masyarakatnya sendiri.
Negara perlu mengembangkan pendekatan yang lebih fleksibel dalam menyikapi keberadaan entitas semacam ini. Alih-alih meredam dengan kekuatan atau menyeragamkan secara paksa, dialog, rekognisi hukum, dan integrasi fungsional dapat menjadi jalan tengah yang menjaga kedaulatan tanpa mematikan dinamika lokal.
Pada akhirnya, proto-state bukan sekadar istilah geopolitik. Ia adalah cermin dari kesenjangan antara negara dan masyarakat, sekaligus bukti bahwa kekuasaan tidak selalu bersumber dari senjata, melainkan dari legitimasi sosial, budaya, dan kemampuan mengatur hidup bersama. Indonesia dengan segala keragamannya perlu belajar mengenali dan mengelola proto-state domestik sebagai bagian dari realitas sosial-politik kontemporer.
loading...
0 comments :
Post a Comment